Tanggal
15 Agustus 1945, kira-kira pukul 22.00, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56
Jakarta, tempat kediaman Bung Karno, berlangsung perdebatan serius antara
sekelompok pemuda dengan Bung Karno mengenai Proklamasi Kemerdekaan sebagaimana
dilukiskan Lasmidjah Hardi (1984:58); Ahmad Soebardjo (1978:85-87) sebagai
berikut: “… Sekarang Bung, sekarang…! malam ini juga kita kobarkan revolusi…!
kata Chaerul Saleh dengan meyakinkan Bung Karno bahwa ribuan pasukan bersenjata
sudah siap mengepung kota dengan maksud mengusir tentara Jepang".
“Kita
harus segera merebut kekuasaan ! tukas Sukarni berapi-api. Kami sudah siap
mempertaruhkan jiwa kami… ! seru mereka bersahutan. Wikana malah berani
mengancam Soekarno dengan pernyataan; … Jika Bung Karno tidak mengeluarkan
pengumuman pada malam ini juga, akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan
darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari.
Mendengar
kata-kata ancaman seperti itu, Soekarno naik darah dan berdiri menuju Wikana
sambil berkata: Ini batang leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potonglah
leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari !.
Hatta
kemudian memperingatkan Wikana; Jepang adalah masa silam. Kita sekarang harus
menghadapi Belanda yang akan berusaha untuk kembali menjadi tuan di negeri kita
ini. Jika saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan, dan mengira
bahwa saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan,
mengapa saudara tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri? Mengapa meminta
Soekarno untuk melakukan hal itu?
Namun, para pemuda terus mendesak; Apakah kita harus menunggu hingga kemerdekaan
itu diberikan kepada kita sebagai hadiah, walaupun Jepang sendiri telah
menyerah dan telah takluk dalam Perang Sucinya !. Mengapa bukan rakyat itu
sendiri yang memproklamasikan kemerdekaannya? Mengapa bukan kita yang
menyatakan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa?
Dengan
lirih, setelah amarahnya mereda, Soekarno berkata; kekuatan yang segelintir ini
tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan kesiapan total tentara
Jepang! Coba, apa yang bisa kau perlihatkan kepada saya? Mana bukti kekuatan
yang diperhitungkan itu? Apa tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan
perempuan dan anak-anak? Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah
diproklamasikan? Kita tidak akan mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu. Coba
bayangkan, bagaimana kita akan tegak di atas kekuatan sendiri. Demikian jawab
Bung Karno dengan tenang.
Para
pemuda, tetap menuntut agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan.
Namun, kedua tokoh itu pun, tetap pada pendiriannya semula. Setelah
berulangkali didesak oleh para pemuda, Bung Karno menjawab bahwa ia tidak bisa
memutuskannya sendiri, ia harus berunding dengan para tokoh lainnya. Utusan
pemuda mempersilahkan Bung Karno untuk berunding. Para tokoh yang hadir pada
waktu itu antara lain, Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri,
Djojopranoto, dan Sudiro.
Tidak
lama kemudian, Hatta menyampaikan keputusan, bahwa usul para pemuda tidak dapat
diterima dengan alasan kurang perhitungan serta kemungkinan timbulnya banyak
korban jiwa dan harta. Mendengar penjelasan Hatta, para pemuda nampak tidak
puas. Mereka mengambil kesimpulan yang menyimpang; menculik Bung Karno dan Bung
Hatta dengan maksud menyingkirkan kedua tokoh itu dari pengaruh Jepang.
Rengasdengklok, 16 Agustus 1945
Pukul
04.00 dinihari, tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta oleh sekelompok
pemuda dibawa ke Rengasdengklok. Aksi penculikan itu sangat mengecewakan Bung
Karno, sebagaimana dikemukakan Lasmidjah Hardi (1984:60). Bung Karno marah dan
kecewa, terutama karena para pemuda tidak mau mendengarkan pertimbangannya yang
sehat.
Mereka
menganggap perbuatannya itu sebagai tindakan patriotik. Namun, melihat keadaan
dan situasi yang panas, Bung Karno tidak mempunyai pilihan lain, kecuali
mengikuti kehendak para pemuda untuk dibawa ke tempat yang mereka tentukan.
Fatmawati istrinya, dan Guntur yang pada waktu itu belum berumur satu tahun, ia
ikut sertakan.
Rumah
bersejarah rengasdengklok Karawang
Rengasdengklok
kota kecil dekat Karawang dipilih oleh para pemuda untuk mengamankan
Soekarno-Hatta dengan perhitungan militer; antara anggota PETA (Pembela Tanah
Air) Daidan Purwakarta dengan Daidan Jakarta telah terjalin hubungan erat sejak
mereka mengadakan latihan bersama-sama. Di samping itu, Rengasdengklok letaknya
terpencil sekitar 15 km. dari Kedunggede Karawang. Dengan demikian, deteksi
dengan mudah dilakukan terhadap setiap gerakan tentara Jepang yang mendekati
Rengasdengklok, baik yang datang dari arah Jakarta maupun dari arah Bandung
atau Jawa Tengah.
Sehari
penuh, Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Maksud para pemuda untuk
menekan mereka, supaya segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan terlepas dari
segala kaitan dengan Jepang, rupa-rupanya tidak membuahkan hasil. Agaknya
keduanya memiliki wibawa yang cukup besar. Para pemuda yang membawanya ke
Rengasdengklok, segan untuk melakukan penekanan terhadap keduanya. Sukarni dan
kawan-kawannya, hanya dapat mendesak Soekarno-Hatta untuk menyatakan proklamasi
secepatnya seperti yang telah direncanakan oleh para pemuda di Jakarta.
Akan
tetapi, Soekarno-Hatta tidak mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap berpegang
teguh pada perhitungan dan rencana mereka sendiri. Di sebuah pondok bambu
berbentuk panggung di tengahpersawahan Rengas dengklok, siang itu terjadi
perdebatan panas; Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami
memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu…. Lalu
apa ? teriak Bung Karno sambil beranjak dari kursinya, dengan kemarahan yang
menyala-nyala. Semua terkejut, tidak seorang pun yang bergerak atau
berbicara.
Waktu
suasana tenang kembali. Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara rendah ia mulai
berbicara; Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya
yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk
dijalankan tanggal 17.
Mengapa
justru diambil tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja, atau tanggal 16 ? tanya
Sukarni. Bung Karno memberi alasan bahwa dalam kalbuku , bahwa itu adalah saat
yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam
bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling
suci bagi kita. tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat
yang berbahagia, Jumat suci. Al-Quran diturunkan tanggal 17, orang Islam
sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan
manusia.
Demikianlah
antara lain dialog antara Bung Karno dengan para pemuda di Rengasdengklok
sebagaimana ditulis Lasmidjah Hardi (1984:61).
Sumber : https://beritalima.com/peristiwa-peristiwa-penting-sejarah-kemerdekaan-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar